Google

Makam Para Raja

Yang nyaris terlupakan
Banyak yang bilan, Nusantara adalah tanah para pemberani. Dimasanya, banyak orang tak kenal menyerahmenyuarakan kebenaran, menentang penindsan.
Saying, dari yang banyak itu, hanya sebagian yang kemudian kita kenang sebagai pahlawan. Selebihnya,
hanya kasak kusuk dan nyanyian bisu pahlawan tak dikenal. Seperti kisah para raja di kawasan sumba timur,
nusa Tenggara Timur (NTT), diantaanya Raja Prailiu Pertama. Tamu Umbu, Tana Homba, seorang pemimpin di Kecamatan Pandawae, Waingapu – Sumba Timur. Kharismanya yang luar biasa, membuat Raja Prailiu Pertama dipercaya untuk memimpin semua kerajaan kecil yang ada di Tanah Sumba.

Sampai – samp[ai muncul sebuah mitos, kain hinggi, ikat kepalanya mampu mematikan tumbuhan sebesar bentangan ikat kepala. Terbukti hingga kini masih ada lahan di perbatasan antara Sumba Timur dan Sumba Barat yang tidak bias ditumbuhi rumput.

Pasca meninggalnya raja pertama, tampak kekuasaan dipegang Tamu Umbu Rara Meha. Seperti Raja Prailiu Pertama, raja kedua juga tak menyisakan catatan tentang tahun kelahiran dan kematian. Yang ad ahanya kekuasaan raja kedua yang berkembang dan tersohor hungga LEwa, Kambera, hingga Kadumbul.
Sepeninggal Raja Tamu Umbu Rara Mena, kerajaan Prailu yang berada di pinggiran ibu kota Waingapu, Sumba Timur kembali dipimpin TAmu Umbu Rihi Eti (1901-1978). Lagi-lagi ia juga dikenal sebagai raja yang disegani rakyatnya.
Cerita dan mitos-mitos inilah yang terus berkembang turun temurun dikalangan masyarakat sekitar kompleks pemakaman yang ada di Perkampungan Raja, Waingapu. Karena ditempat itu pula par araj Prailiu, baik yang Pertama hingga Ketiga dimakamkan.

Dari pusat kota Waingapu, kompleks pemakaman ini hanya berjarak sekitar 10 kilometer, atau butuh kurang dari 10 – 15 menit perjalanan.
Padahal Tamu Umbu Rara Meha memiliki sejarah perjuangan melawan colonial melebihi raja lainya. Kata Tamu Rambu Eri. Gara-gara gencar melakukan perlawanan terhadap colonial Belanda, sang raja pernah diasingkan ke Padang, Sumatera Barat.
“Ia dibuang karena politik devide et impera,” kata Umbu Ndapa Konda Meha, sesepuh warga, awal kejadiannya ,Tamu Umbu Rara Meha yang tidak begitu simpatik dengan Belanda menolak semua kebijakan yang ditentukan pemerintah colonial . “Penolakan ini menyebabkan Bapa Raja jadi musuh besar Belanda, dan jadi target untuk dibunuh.” Tambah Umbu Ndapa.
Tahu dirinya diincar Belanda, ia melarikan diri ke hutan dikawasan Lewa. Pengejaran terjadi. Dan untuk dapat meringkus Tamu Umbu Rara Meha, Belanda harus mengerahan seluruh kekuatan. “Kekuatan personil dan persenjataan yang dikerahkan belum bisa menangkap Raja Prailiu. Bahkan banyak tentara Belanda teewas, karena perang gerilya yang dilancarkan,” ungkap Umbu Ndapa Konda Meha lagi.
Melihat banyak korban berjatuhan dipihaknya, pemerintah Belanda memanfaatkan Raja Kanatang, yang kebetulan tidak berada di bawah kekuasaan Raja Prailiu. Ia diminta membujuk Tamu umbu Rara Meha keluar dari tempat persembunyiannya, dan mau melakukan perundingan. Percaya dengan perkataan Raja Kanatang, Setelah bergerilya selama hampir tujuh tahun, Tamu Umbu Rara Meha pun keluar dari persembunyiannya.
Menurut Umbu Ndapa Konda Meha, pada awal perundingan semua masih berjalan aman dan lancar. Akan tetapi, setelah masuk pada persoalan yang bersifat mendasar dan mengancam rakyat, Raja Prailiu tegas menolak. Buntutnya, Tamu Umbu Rara Meha ditangkap paksa dan dibuang ke Padang.
Sepulang dari pengasingan, perubahan mulai dilakukan Sang Raja. Dari desain bangunan istan Swapraja yang dulunya murni berciri Sumba, berubah jadi ala Padang, lengkap dengan atap yang runcing. Bangunan peninggalan ini tetap utuh dan kokoh hingga kini.


Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

  © Blogger templates Inspiration by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP